PENGKHIANATAN BESAR TERHADAP JOKOWI DI TENGAH PANDEMI
Oleh: R Haidar Alwi
Sejak pertengahan tahun lalu, Presiden Jokowi dengan tegas telah melarang jajarannya untuk membeli alat tes Covid-19 dari luar negeri. Alasannya, Indonesia tidak lagi membutuhkan impor barang-barang tersebut karena sudah mampu memproduksinya sendiri. Beliau sadar betul betapa pentingnya membangun dan mengembangkan riset dalam negeri sebagai modal ketahanan negara dalam menghadapi ketidakpastian Pandemi.
Saat itu, Bio Farma mengaku sanggup memproduksi 200-400 ribu unit RT-PCR setiap bulannya. Saking yakinnya, Menteri BUMN Erick Thohir bahkan sampai meminta Bio Farma untuk meningkatkan kemampuan produksinya hingga 2 juta unit per bulan.
Lalu, ada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berhasil mengembangkan alat Rapid Test RI-GHA Covid-19 dan alat RT-PCR BioCov-19 dengan efektivitas 100% dan sensitivitas di atas 95%.
Kemudian, Indofarma yang tidak mau ketinggalan juga merakit sendiri alat tes Covid-19 di fasilitas produksi milik perusahaannya. Selain itu, terdapat juga suplai dari industri manufaktur lokal dan yang dikembangkan oleh instansi lain. Misalnya Genose yang akhirnya dianulir setelah sempat digunakan sebagai alat Rapid Test berbiaya murah secara massal di Indonesia.
Melihat inovasi dan potensi yang dimiliki anak bangsa yang dikuatkan oleh perintah Presiden Jokowi, para pejabat silih berganti tampil di media. Mereka menebar optimisme bahwa Indonesia tidak akan lagi bergantung pada impor alat tes Covid-19 dan berjanji menggenjot penggunaan produk lokal.
Namun, beberapa bulan setelahnya, Gugus Tugas Covid-19 dan Kementerian Kesehatan diketahui masih mengandalkan Rapid Test dan RT-PCR impor. Hal ini diungkapkan oleh Kepala BPPT Hammam Riza pada akhir September 2020.
Tak terasa, satu tahun berlalu. Perintah Presiden Jokowi hanya dianggap angin lalu. Alih-alih bisa mengekspor alat tes Covid-19 buatan lokal, Indonesia justru kebanjiran produk impor. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebut ketergantungan Indonesia terhadap impor alkes mencapai 90% dengan nilai sekitar Rp 150 Triliun.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 12,5 Triliun merupakan impor alkes buatan Cina.
Nilainya meningkat 24,68% bila dibandingkan dengan Semester I 2020. Secara keseluruhan, alkes buatan lokal yang digunakan di dalam negeri hanya sebesar 10%.
Jika faktanya demikian, patut dipertanyakan kemana alat tes Covid-19 buatan lokal yang setahun lalu ramai digembor-gemborkan??? Apakah sebenarnya hanya untuk ‘cari muka’ di hadapan Presiden Jokowi atau memang sengaja dijegal??? Jangan-jangan ada mafia kelas kakap yang keenakan meraup keuntungan fantastis dari impor alat tes Covid-19???
Pertama, di setiap kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat, Pemerintah selalu mensyaratkan hasil tes Covid-19. Baik itu Rapid Test Antigen maupun RT-PCR. Terlepas dari terjangkau atau tidaknya bagi sebagian orang, kebijakan itu mendorong tingginya permintaan terhadap alat tes Covid-19. Jika dipenuhi dengan produk lokal yang harganya jauh lebih murah, maka mafia impor menjadi tertekan. Agar dapat meraup keuntungan maksimal, makanya mereka menghambat penggunaan produk lokal.
Ke-dua, biaya tes Covid-19 di Indonesia juga berkali-kali lipat lebih mahal ketimbang yang berlaku di negara lain. Bayangkan saja, masyarakat harus merogoh kocek antara Rp 250 ribu sampai Rp 275 ribu untuk Rapid Test Antigen dan maksimal Rp 900 ribu untuk RT-PCR. Padahal di New Delhi India, Rapid Test Antigen hanya dipatok biaya sebesar 300 Rupee atau setara Rp 58 ribu. Sedangkan untuk RT-PCR berkisar antara 300 Rupee sampai 500 Rupee atau senilai Rp 58 ribu sampai Rp 97 ribu. Sedangkan untuk RT-PCR ‘home service’ sedikit lebih mahal yakni 700 Rupee atau Rp 135 ribu.
Rendahnya biaya tes Covid-19 di India diyakini karena negara tersebut menggunakan alat tes buatan dalam negeri. Lantas, kenapa Indonesia tidak menggunakan karya anak bangsa yang katanya sudah mampu diproduksi dalam skala besar dengan harga yang lebih murah??? Sungguh sebuah tanda tanya besar bukan???
Ke-tiga, terkait tingginya biaya tes Covid-19 di Indonesia, Kementerian Kesehatan seolah menutup mata. Mereka menjawab dengan mengatakan ‘bila perlu’ akan melakukan evaluasi. Apabila benar-benar mau dan bersungguh-sungguh, ‘sesegera mungkin’ dilakukan evaluasi. Jika para pemuda di NTT saja sanggup menggratiskan RT-PCR, kenapa Pemerintah dengan segala sumberdayanya malah tidak mampu???
Ke-empat, para pejabat terus mengumbar optimisme meskipun data dan faktanya berbanding terbalik dengan kenyataan. Ada Menteri yang mengatakan bahwa Indonesia sudah berubah, bergerak maju meskipun terdapat beberapa hambatan. Maju kemana??? Lah, wong faktanya aja impor alkes dari Cina pada Semester I 2021 meningkat 24,68% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penggunaan alkes buatan lokal juga masih 10%. Sedangkan sisanya 90% hasil impor. Itu yang disebut maju???
Ke-lima, kebijakan yang kontraproduktif. Di satu sisi ada Menteri yang menyiapkan jurus pamungkas untuk mendongkrak penggunaan produk lokal, tapi di sisi lain ada Menteri yang memperlebar keran impor dengan membebaskan pajak impor untuk lima jenis alkes termasuk alat tes Covid-19 dan Reagen Laboratorium. Dengan dibebaskannya pajak impor, kemungkinan besar ke depannya Indonesia akan tetap kebanjiran alkes impor. Jika kondisinya seperti itu, bagaimana mungkin produk lokal dapat berkembang dan biaya tes Covid-19 menjadi lebih terjangkau???
Sejak pertengahan tahun lalu, Presiden Jokowi dengan tegas telah melarang jajarannya untuk membeli alat tes Covid-19 dari luar negeri. Alasannya, Indonesia tidak lagi membutuhkan impor barang-barang tersebut karena sudah mampu memproduksinya sendiri. Beliau sadar betul betapa pentingnya membangun dan mengembangkan riset dalam negeri sebagai modal ketahanan negara dalam menghadapi ketidakpastian Pandemi.
Saat itu, Bio Farma mengaku sanggup memproduksi 200-400 ribu unit RT-PCR setiap bulannya. Saking yakinnya, Menteri BUMN Erick Thohir bahkan sampai meminta Bio Farma untuk meningkatkan kemampuan produksinya hingga 2 juta unit per bulan.
Lalu, ada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berhasil mengembangkan alat Rapid Test RI-GHA Covid-19 dan alat RT-PCR BioCov-19 dengan efektivitas 100% dan sensitivitas di atas 95%.
Kemudian, Indofarma yang tidak mau ketinggalan juga merakit sendiri alat tes Covid-19 di fasilitas produksi milik perusahaannya. Selain itu, terdapat juga suplai dari industri manufaktur lokal dan yang dikembangkan oleh instansi lain. Misalnya Genose yang akhirnya dianulir setelah sempat digunakan sebagai alat Rapid Test berbiaya murah secara massal di Indonesia.
Melihat inovasi dan potensi yang dimiliki anak bangsa yang dikuatkan oleh perintah Presiden Jokowi, para pejabat silih berganti tampil di media. Mereka menebar optimisme bahwa Indonesia tidak akan lagi bergantung pada impor alat tes Covid-19 dan berjanji menggenjot penggunaan produk lokal.
Namun, beberapa bulan setelahnya, Gugus Tugas Covid-19 dan Kementerian Kesehatan diketahui masih mengandalkan Rapid Test dan RT-PCR impor. Hal ini diungkapkan oleh Kepala BPPT Hammam Riza pada akhir September 2020.
Tak terasa, satu tahun berlalu. Perintah Presiden Jokowi hanya dianggap angin lalu. Alih-alih bisa mengekspor alat tes Covid-19 buatan lokal, Indonesia justru kebanjiran produk impor. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebut ketergantungan Indonesia terhadap impor alkes mencapai 90% dengan nilai sekitar Rp 150 Triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 12,5 Triliun merupakan impor alkes buatan Cina. Nilainya meningkat 24,68% bila dibandingkan dengan Semester I 2020. Secara keseluruhan, alkes buatan lokal yang digunakan di dalam negeri hanya sebesar 10%.
Jika faktanya demikian, patut dipertanyakan kemana alat tes Covid-19 buatan lokal yang setahun lalu ramai digembor-gemborkan??? Apakah sebenarnya hanya untuk ‘cari muka’ di hadapan Presiden Jokowi atau memang sengaja dijegal??? Jangan-jangan ada mafia kelas kakap yang keenakan meraup keuntungan fantastis dari impor alat tes Covid-19???
Pertama, di setiap kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat, Pemerintah selalu mensyaratkan hasil tes Covid-19. Baik itu Rapid Test Antigen maupun RT-PCR. Terlepas dari terjangkau atau tidaknya bagi sebagian orang, kebijakan itu mendorong tingginya permintaan terhadap alat tes Covid-19. Jika dipenuhi dengan produk lokal yang harganya jauh lebih murah, maka mafia impor menjadi tertekan. Agar dapat meraup keuntungan maksimal, makanya mereka menghambat penggunaan produk lokal.
Ke-dua, biaya tes Covid-19 di Indonesia juga berkali-kali lipat lebih mahal ketimbang yang berlaku di negara lain.
>Rendahnya biaya tes Covid-19 di India diyakini karena negara tersebut menggunakan alat tes buatan dalam negeri. Lantas, kenapa Indonesia tidak menggunakan karya anak bangsa yang katanya sudah mampu diproduksi dalam skala besar dengan harga yang lebih murah??? Sungguh sebuah tanda tanya besar bukan???
Ke-tiga, terkait tingginya biaya tes Covid-19 di Indonesia, Kementerian Kesehatan seolah menutup mata. Mereka menjawab dengan mengatakan ‘bila perlu’ akan melakukan evaluasi. Apabila benar-benar mau dan bersungguh-sungguh, ‘sesegera mungkin’ dilakukan evaluasi. Jika para pemuda di NTT saja sanggup menggratiskan RT-PCR, kenapa Pemerintah dengan segala sumberdayanya malah tidak mampu???
Ke-empat, para pejabat terus mengumbar optimisme meskipun data dan faktanya berbanding terbalik dengan kenyataan. Ada Menteri yang mengatakan bahwa Indonesia sudah berubah, bergerak maju meskipun terdapat beberapa hambatan. Maju kemana??? Lah, wong faktanya aja impor alkes dari Cina pada Semester I 2021 meningkat 24,68% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penggunaan alkes buatan lokal juga masih 10%. Sedangkan sisanya 90% hasil impor. Itu yang disebut maju???
Ke-lima, kebijakan yang kontraproduktif. Di satu sisi ada Menteri yang menyiapkan jurus pamungkas untuk mendongkrak penggunaan produk lokal, tapi di sisi lain ada Menteri yang memperlebar keran impor dengan membebaskan pajak impor untuk lima jenis alkes termasuk alat tes Covid-19 dan Reagen Laboratorium.
Dengan dibebaskannya pajak impor, kemungkinan besar ke depannya Indonesia akan tetap kebanjiran alkes impor. Jika kondisinya seperti itu, bagaimana mungkin produk lokal dapat berkembang dan biaya tes Covid-19 menjadi lebih terjangkau???
~PSF~